Clint Dempsey menyadari kecintaannya pada sepakbola sejak masa sekolah. Luapan kegembiraan setelah mencetak gol telah mendorong Dempsey makin mendalami kecintaannya pada olahraga yang telah membawanya hingga ke berbagai tempat di dunia dan bermain dalam level tertinggi di Eropa dan Amerika Serikat.
“Awalnya orangtuaku membawaku belajar sepakbola supaya aku mempelajari cara bergaul yang baik dengan orang lain,” kata Dempsey. “Aku tidak pernah tahu bahwa olahraga yang kusukai dan keterampilan yang kupelajari itu kemudian berperan besar dalam hubunganku dengan Allah.”
Dempsey masih berusia 21 tahun ketika ia menjadi pemain profesional, dan pada tahun itu juga ia berhasil masuk dalam tim nasional Amerika Serikat serta meraih gelar Pemain Baru Terbaik di Liga Utama Sepakbola AS (MLS). Setahun kemudian ia membawa klubnya New England Revolution memenangi trofi juara MLS yang diraih dua kali berturut-turut. Selanjutnya ia bermain di Inggris untuk Fulham dan Tottenham Hotspur, membantu tim nasional menjuarai Piala Emas CONCACAF, mewakili negaranya dalam kejuaraan Piala Dunia dan beberapa kali digelari Atlet Sepakbola Terbaik di AS.
Allah telah mulai membentuk hidup Dempsey jauh sebelum ia berkiprah dalam sepakbola. Dan uniknya, pembentukan itu justru dimulai melalui sebuah tragedi yang terjadi saat ia masih berusia 12 tahun.
“Aku bertumbuh di dalam keluarga yang taat beragama dan biasa pergi ke gereja bersama Nenek setiap Minggu. Melalui Nenek, aku menyadari arti penting dari iman,” cerita Dempsey. “Namun, saat aku berusia 12 tahun, hidupku berbalik 180 derajat. Jennifer, saudara perempuanku, meninggal dunia (karena aneurisma otak) dan aku banyak mempertanyakan mengapa semua itu terjadi dan bagaimana campur tangan Allah di dalam semua itu. Selama bertahun-tahun, aku bergumul dan menjauh dari hubungan dengan Allah. Namun Dia setia dan sabar, dengan perlahan-lahan memberikan pemulihan dan kekuatan yang baru.”
Ya, meskipun Dempsey telah mengenal Allah karena lahir dari sebuah keluarga Kristen, ia tidak sungguh-sungguh mencari Allah. Namun Allah terus mencarinya. Pada saat kuliah, ada satu kelompok PA di Universitas Furman di Greenville, South Carolina yang mendukungnya untuk mengenal Allah lebih jauh dan memahami arti dari iman yang aktif.
“Di universitas, aku bergabung dengan sebuah kelompok PA. Firman Tuhan memberiku damai sejahtera dan suatu kerinduan untuk berhubungan dengan Dia,” tutur Dempsey. “Aku mendapati bahwa mempertanyakan Dia dan mencari jawaban melalui Kitab Suci telah menolongku bertumbuh dan memberiku arah yang jelas. Kini imanku di dalam Kristus telah memberiku keyakinan akan masa depan. Aku tahu, di tengah pengalaman yang baik atau buruk, Dia tetap setia dan akan terus menjagaku.”
Tidak hanya melalui kelompok PA. Allah juga membentuk Dempsey melalui tragedi lainnya. Suatu hari, dua rekan setimnya mengajaknya pergi ke suatu konser. Karena tidak punya banyak uang, Dempsey pun menolak ajakan itu. Tanpa diduga, dalam perjalanan ke konser, mobil yang ditumpangi kedua rekan Dempsey mengalami kecelakaan hingga jungkir balik. Sebuah truk 18 roda menghantam mobil itu dan menewaskan salah seorang dari mereka, sementara yang satu lagi mengalami luka-luka parah yang membuatnya tidak bisa lagi bermain sepakbola.
Allah memakai tragedi di masa lalu Dempsey untuk membentuk pandangannya terhadap kehidupan. Dempsey jadi menyadari bahwa ia tak dapat mengandalkan kehebatannya sendiri untuk membuat hidupnya berarti. Hidupnya dapat berakhir kapan saja. Sebab itu, kerinduannya untuk menyenangkan Allah pun makin besar. Ia ingin memakai waktunya yang singkat di dunia ini untuk memberi pengaruh yang baik dalam hidup sesama.
Kini fokus doa Dempsey bukanlah agar hidupnya aman, bebas dari bahaya. “Sekarang, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menjalani hidup yang terbentang di depanku,” tutur Dempsey. Ia pun bertekad, “Aku bermain sebaik yang aku bisa dan bersyukur untuk banyaknya kesempatan dan keberhasilan yang telah diberikan-Nya kepadaku. Dalam semua itu, aku mau melakukan apa yang benar, tidak salah jalan, dan menjalani hidup yang menyenangkan Allah.”
Salah satu wujud nyata dari tekadnya itu adalah kedisiplinan Dempsey untuk membaca Alkitab. Firman Allah menolongnya untuk terus bertumbuh. “Allah memberikan kekuatan, bahkan di tengah keadaan yang tampaknya mustahil,” kata Dempsey membagikan salah satu pelajaran yang didapatnya dari Alkitab. “Dari kitab Kejadian dalam Alkitab, Allah menjanjikan Abraham bahwa ia akan menjadi bapa dengan banyak keturunan, tetapi selama bertahun-tahun, Sara, istrinya, tidak dapat mempunyai anak. Bahkan ketika ia hampir berusia 100 tahun, Abraham ‘tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah’ (Roma 4:20). Iman Abraham pun berbuah manis ketika Allah menepati janji-Nya dan Sara pada usia 90 tahun melahirkan anak mereka, Ishak.”