Dalam sebuah perjalanan seorang ayah
dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal
yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah
rindangnya pohon tersebut.
“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba.
Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan
seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang
serius.
“Adakah pelajaran yang
bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan
kanannya meraih batang pohon di dekatnya.
“Menurutku, pohon bisa
jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari
kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil
matanya menanti sebuah kepastian.
“Bagus,” jawab spontan sang
ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah
pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung
dahan yang paling atas.
“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu
lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di
tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap
cahaya,” jelas sang ayah.
“Anakku,” ucap sang ayah sambil
tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu
seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya
kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.**
Keadaan tanah
kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan
luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita
inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada
turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar
dugaan.
Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada
puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak
lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing
ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.
“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar